Nationalgeographic.co.id—Sejarah Perang Salib ketiga dimulai setelah Salahudin al Ayyubi, atau yang dikenal dengan Saladin merebut kembali Yerusalem dari pasukan salib. Kampanye militer sejarah Perang Salib kembali diserukan oleh Paus dan dipimpin oleh tiga raja Eropa.
Dalam sejarah Perang Salib Ketiga, karena dipimpin oleh tiga raja paling berpengaruh di Eropa, oleh karena itu dikenal juga dengan 'Perang Salib Para Raja' menurut catatan World History Encyclopedia.
Ketiga pemimpin tersebut adalah: Frederick I Barbarossa, Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci (memerintah 1152-1190 M), Philip II dari Prancis (memerintah 1180-1223 M) dan Richard I 'si Hati Singa' dari Inggris (memerintah 1189 -1199 M).
Dalam perjalanannya, memang ada beberapa kemenangan, terutama direbutnya Acre dan pertempuran Arsuf. Tapi terlepas dari itu semua, termasuk silsilah mereka, sejarah Perang Salib Ketiga adalah sebuah kegagalan, Kota Suci bahkan tidak pernah diserang.
Kematian Frederick I BarbarossaFrederick I Barbarossa adalah raja pertama yang melakukan mobilisasi dalam sejarah Perang Salib ketiga, dan dia melakukan perjalanan dengan pasukannya melalui darat melalui Trakia pada musim semi tahun 1190 M.
Sementara itu, Kaisar Bizantium Isaac II Angelos (memerintah 1185-1195 M) sangat khawatir dengan perjalanan paskan salib barat, mengingat saat mereka melewati wilayah Kekaisaran Bizantium, selalu ada banyak kekacauan, perampokan dan pemerkosaan.
Dari sisi lain, orang barat sangat curiga terhadap aliansi baru Kekaisaran Bizantium dengan Saladin, sebuah perasaan yang didasarkan pada beberapa kenyataan.
Kecurigaan tersebut muncul karena Isaac mencoba menghalangi perjalanan Pasukan Salib menuju Timur Tengah. Padahal Isaac hanya tidak ingin pasukan salib membuat banyak kekacauan di wilayah Kekasiaran Bizantium.
Ketika Frederick menduduki Adrianopel di Trakia, Bizantium memang cukup membantu sesama orang Kristen. Namun, Kaisar tidak diragukan lagi merasa lega setelah Jerman masuk ke Anatolia.
Kemudian bencana melanda pada tanggal 10 Juni 1190. Kaisar Romawi Suci tenggelam dalam suatu kecelakaan, jatuh dari kudanya ke (atau menderita serangan jantung saat berenang di) Sungai Saleph di Kilikia selatan masih dalam perjalanan menuju Tanah Suci.
Kematian Frederick, dan kemudian bencana wabah disentri, mengakibatkan sebagian besar pasukannya tewas atau memutuskan untuk pulang dengan susah payah dalam kesedihan.
Perang Salib ketiga sekarang hanya bergantung pada tentara Inggris dan Prancis, sekutu sementara yang tidak terlalu menyukai satu sama lain di saat-saat terbaik.
Meskipun beberapa pasukan Jerman berhasil mencapai Acre di Timur Tengah, hilangnya otoritas dan pengalaman Frederick terbukti signifikan bagi Perang Salib secara keseluruhan.
Karl Friedrich Lessing
Sebagian besar pasukan Salib dari Jerman pasukannya tewas atau memutuskan untuk pulang dengan susah payah dalam kesedihan.
Richard I Membawa Sisilia & SiprusSedangkan Richard I menempuh jalur laut menuju Timur Tengah. Juru kampanye yang berpengalaman, sangat teliti seperti sebelumnya, telah mengerahkan seluruh sumber daya kerajaannya untuk kampanye militer.
Mereka mengumpulkan 100 armada kapal dan 60.000 kuda. Dalam perjalanannya, Richard merebut Messina di Sisilia pada tahun 1190 M.
Kemudian ketika pasukan Inggris ini berkumpul untuk pertama kalinya di pulau itu pada bulan April 1191 M, ada 17.000 tentara yang siap beraksi.
Raja Inggris tahu betul bahwa faktor keberhasilan atau kegagalan untuk kampanye apa pun adalah logistik. Dia mulai memastikan harus memiliki jalur pasokan yang baik dengan merebut Siprus berikutnya.
Secara resmi wilayah itu adalah milik Kekaisaran Bizantium, pulau itu sekarang memiliki pemimpin pemberontak, Isaac Komnenos, yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa independen.
Richard terbukti tak terbendung dan dengan alasan yang agak jinak bahwa penduduk setempat tidak memperlakukan beberapa Pasukan Salib yang terdampar dengan sangat baik, Siprus direbut pada Mei 1191 M.
Penduduk pulau itu dipaksa untuk membayar pajak 50 persen dari semua harta benda untuk lebih meningkatkan pundi-pundi kampanye raja pasukan salib.
Pasukan Salib akan memerintah pulau itu, yang kemudian digunakan sebagai pangkalan pasokan tentara dalam perjalanan mereka ke Timur Tengah. Kuasa mereka di Siprus bertahan sampai Venesia mengambil alih pada tahun 1571 M.
Sementara itu di Prancis, Philip II telah mengumpulkan pasukannya yang terdiri dari 650 ksatria, 1.300 pengawal, dan infanteri dalam jumlah yang lebih besar.
Pasukan ini juga berlayar ke Levant, kali ini berkat kapal-kapal Genoa yang akan membawanya ke Acre. Sejarah Perang Salib Ketiga pasti berkembang menjadi petualangan militer pan-Eropa yang sesungguhnya.
Bibliothèque Nationale de France, Paris
Pertempuran besar pertama dari sejarah Perang Salib ketikga terjadi di Acre, di pantai Kerajaan Yerusalem.
Pengepungan AcrePertempuran besar pertama dari sejarah Perang Salib ketiga terjadi di Acre, di pantai Kerajaan Yerusalem.
Sebenarnya, kota itu telah dikepung selama beberapa waktu oleh pasukan yang dipimpin oleh bangsawan Prancis Guy dari Lusignan, raja yang tersisa dari Kerajaan Yerusalem (memerintah 1186-1192 M).
Namun, Guy sedang berjuang karena dia sekarang menghadapi pasukan yang dikirim oleh Saladin untuk membebaskan kota.
Untungnya bagi penguasa Latin, beberapa pasukan salib segera tiba untuk mendukung, termasuk sisa-sisa pasukan Frederick.
Kemudian ada pasukan Jerman yang dipimpin oleh Duke L eopold dari Austria yang melakukan perjalanan melalui laut, pasukan Prancis yang dipimpin oleh Henry dari Champagne, dan pasukan Richard I dan Filipus II.
Pada awal Juni 1191 M, semua pasukan salib sudah siap dan siap merebut kota.
Pengeboman yang berat dan berkelanjutan menggunakan ketapel diluncurkan tetapi pengepungan yang berlarut-larut akhirnya berhasil. Itu ketika sappers, yang menawarkan insentif uang tunai oleh Richard, merusak tembok benteng kota di sisi darat.
Mesin pengepungan dan reputasi raja Inggris, dan divisi dalam pasukan Saladin sendiri merupakan faktor tambahan dalam kemenangan tersebut.
Sang Berhati Singa, sebagaimana Richard saat itu dikenal berkat keberanian dan kemampuannya dalam peperangan, telah mencapai dalam lima minggu apa yang gagal dilakukan Guy dalam 20 minggu.
Kota itu akhirnya direbut pada 12 Juli 1191 M, dan dengan itu, secara signifikan, 70 kapal, sebagian besar angkatan laut Saladin.
Menurut legenda, Richard sedang sakit pada saat itu, mungkin terkena penyakit hina. Meskipun dia memiliki pengikut yang membawanya dengan tandu sehingga dia dapat menembak ke benteng musuh dengan panah otomatisnya.
Richard kemudian merusak reputasinya sebagai 'raja yang baik' ketika dia memerintahkan 2.500 tahanan untuk dieksekusi.
78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali
Nationalgeographic.co.id—Selama Perang Salib ketujuh, Pasukan Salib membuat kemajuan yang sangat lambat menghadapi kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Sebagian besar pasukan berbaris di sepanjang Sungai Nil, berbaris di sepanjang tepi sungai.
Kapal-kapal yang dapat membawa perbekalan dan peralatan dalam jumlah besar, ikut berperang melawan angin yang berlawanan.
Pada titik ini, akhir November 1249 M, As-Salih Ayyub meninggal karena penyakitnya. Para perwira Bahris, yang dipimpin oleh komandan mereka Fakhr al-Din, kemudian turun tangan untuk melanjutkan perang melawan Pasukan Salib dengan lancar.
Setelah 32 hari, Pasukan Salib berkemah di seberang kamp Muslim dekat Mansourah, yang dilindungi oleh cabang sungai dan benteng.
Kedua kubu kini menggunakan mesin ketapel besar untuk saling membombardir dengan tembakan artileri. Serangan mendadak dan pemboman tanpa henti terjadi selama enam minggu.
Sejarah Perang Salib ketujuh akhirnya menemui kebuntuan. Raja Louis yang memimpin Pasukan Salib kemudian ditawari harapan hidup oleh beberapa pengkhiatan dari Pasukan Muslim.
Pengkhianat dari Pasukan Muslim memberitahukan, bahwa kamp musuh dapat didekati dari belakang dengan menyeberangi sungai lebih jauh ke hilir.
Pada tanggal 8 Februari 1250 M, Raja Louis mulai bergerak dan sejumlah besar ksatria berkumpul di tempat di sungai yang ditunjukkan oleh pengkhianat Pasukan Muslim.
Meski harus turun dan menyuruh kudanya berenang menyeberang, pasukan ksatria yang maju berhasil mencapai sisi lain.
Kemudian, pemimpin mereka, Robert dari Artois, membuat keputusan bodoh dengan segera menyerang kamp musuh sebelum para ksatria lainnya menyeberangi sungai di belakangnya.
Meskipun Fakhr al-Din terbunuh dalam serangan pertama, keputusan terburu-buru Robert untuk mengejar Pasukan Muslim yang melarikan diri ke kota Mansourah membuktikan kesalahannya yang kedua dan terakhir.
Begitu berada di dalam kota, para ksatria Robert dikepung dan, dipisahkan oleh jalan-jalan sempit, dibantai.
Pasukan Muslim, yang berkumpul kembali setelah serangan awal, kemudian melakukan serangan balik terhadap Raja Louis dan pasukan ksatrianya yang baru saja menyeberangi sungai.
Dalam pertempuran sepanjang sejarah Perang Salib ketujuh yang makin kacau dan berdarah yang terjadi setelahnya, Raja Louis hanya berhasil mempertahankan posisinya sampai bala bantuan tiba dari kamp utama Pasukan Salib di penghujung hari.
Ilustrasi abad ke-14 M tentang Raja Louis IX dari Prancis (memerintah 1226-1270 M) yang memimpin Perang Salib ketujuh.
Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah mundur ke tempat yang aman di Mansourah namun sebagian besar tetap utuh. Selain itu, pada akhir Februari, Sultan baru dan putra as-Salih, al-Mu'azzam Turan Shah telah tiba di Mansourah bersama dengan perbekalan dan bala bantuan penting.
Pasukan Salib, di sisi lain, tidak mempunyai persediaan pasokan sekarang. Hal itu karena kamp mereka telah terputus dari Damietta oleh armada kapal Pasukan Muslim, dan kelaparan serta penyakit segera merajalela di kamp mereka.
Akhirnya, pada tanggal 5 April 1250 M, Raja Louis memerintahkan mundur. Pasukan barat, jumlahnya makin berkurang karena penyakit, kelaparan, dan serangan terus-menerus dari Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah.
Dalam waktu dua hari, Pasukan Salib hampir musnah sebagai kekuatan yang efektif. Pasukan Salib yang tersisa, hanya setengah jalan kembali ke Damietta dan lansung menyerah.
Sementara itu, raja Louis dari Prancis, yang menderita disentri parah langsung ditangkap. Louis dibebaskan pada tanggal 6 Mei 1250 M, tetapi hanya setelah pembayaran uang tebusan yang besar untuk dirinya sendiri.
Uang tebusan untuk membebaskan Raja Louis adalah sebesar 400.000 livres tournois untuk sisa pasukannya yang ditangkap, dan penyerahan Damietta yang dikuasai Kristen.
Setidaknya, diperkirakan Raja Louis kehilangan 1,5 juta livre tournoi selama sejarah Perang Salib ketujuh. Jumlah tersebut sekitar 6 kali lipat pendapatannya sebagai Raja Prancis.
Terlepas dari kerugian material, bahaya fisik hingga penangkapannya, Raja Louis IX akan kembali beraksi. Ia akan kembali memimpin Pasukan Salib di akhir masa pemerintahannya yang panjang, ketika ia memimpin Perang Salib kedelapan pada tahun 1270 M.
Raja Louis tidak kembaliSetelah bebas, Rajau Louis tidak kembali ke kampung halamannya dengan rasa malu. Ia tetap memilih tetap tinggal di Timur Tengah selama empat tahun lagi.
Selama waktu itu, dia mengawasi refortifikasi markasnya di Acre, serta benteng di Sidon, Jaffe, dan Kaisarea. Louis juga menciptakan kekuatan baru yang inovatif yang terdiri dari 100 ksatria dan pelengkap panah otomatis.
Tidak seperti para ksatria sebelumnya, yang ditempatkan di kota-kota atau kastil-kastil strategis tertentu, pasukan ini digunakan di mana pun mereka paling dibutuhkan untuk melindungi kepentingan Kerajaan Latin di Timur Tengah.
Menariknya, meskipun Pasukan Salib gagal dalam sejarah Perang Salib ketujuh, mereka berkontribusi besar terhadap jatuhnya Kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Kekaisaran Ayyubiyah ditaklukkan oleh Mamluk pada Mei 1250 M.
Pergantian kekuasaan terjadi ketika kelompok perwira Mamluk membunuh Turan Shah. Terjadilah pertikaian faksi yang sengit selama sepuluh tahun antara para bangsawan Ayyubiyah dan para jenderal militer.
Hingga akhirnya, kaum Mamluk menetapkan diri mereka sebagai penguasa baru di bekas wilayah Kekaisaran Ayyubiyah. Meskipun Aleppo dan Damaskus tetap berada di bawah kendali para pangeran Kekaisaran Ayyubiyah.
78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali
Middle SchoolSocial ScienceEducation
Identifying the structure of a text (e.g., introduction, body, conclusion) is a fundamental reading comprehension skill. Different text structures serve different purposes; understanding the structure helps readers grasp the main idea and supporting details.
tirto.id - Al-Malik al-Nasir Yusuf Ibn Najm al-Din Ayyub Ibn Shahdi Abu’l-Muzaffar Salah al-Din, atau oleh Pasukan Salib dikenal dengan nama Saladin adalah pahlawan terbesar Muslim dalam sejarah Perang Salib (1095-1291). Banyak kronik menyebutkan dirinya adalah sosok bijaksana yang memiliki keberanian luar biasa. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai pemimpin politik dan militer yang mumpuni.
Untuk perkara yang disebutkan terakhir, terdapat testimoni yang ditulis oleh Ibn Syaddad—salah seorang hakim militer Saladin yang banyak menulis tentang cerita kegemilangannya dalam Perang Salib—sebagaimana dikutip ulang oleh Carole Hillenbrand dalam Perang Salib: Sudut Pandang Islam (2005), hlm. 219:
“Sebagai seorang panglima dan mujahid agung tentu saja mendapat tempat yang membanggakan. Ia begitu dikenal oleh para prajurit biasa di pasukannya, menciptakan ikatan-ikatan kesetiaan dan solidaritas, dan memperbaiki moral hukum. Dia berjalan melintas di antara seluruh pasukan dari sayap kanan hingga kiri, dengan menciptakan rasa persatuan dan mendorong mereka untuk maju dan berdiri kokoh pada saat yang tepat.”
Dalam pertempuran di lembah Hattin pada 3-4 Juli 1187, Saladin menang telak atas penguasa Yerusalem, Raja Guy de Lusignan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 1187, Saladin berhasil menaklukkan kota Yerusalem. Semenjak itu, namanya menjadi begitu terkenal sekaligus ditakuti oleh dunia Kristen Eropa.
Pada akhir Oktober 1187, ketika berita tentang kemenangan Saladin di Hattin dan jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan tentara Muslim mulai terdengar di Eropa, orang-orang sangat terkejut.
Sebagaimana ditulis David Nicole dalam The Third Crussade 1191: Richard the Lionheart, Saladin and the struggle for Jerusalem (2006), Paus tua, Urban III terkejut dan lemah karena kabar jatuhnya Yerusalem ke tangan tentara Muslim. Ia meninggal karena kesedihan yang mendalam atas yang terjadi di Yerusalem.
Pada 29 Oktober 1187, penggantinya, Paus Gregorius VIII, mengeluarkan seruan terkenalnya yang disebut Bull Audita Tremendi sebagai tanggapan atas jatuhnya kembali Yerussalem di tangan tentara Muslim. Isi dari Bull Audita Tremendi adalah gambaran mengenai kengerian Pertempuran Hattin dan merinci kekejaman yang dilakukan tentara Muslim setelahnya.
Tak hanya itu, dalam seruannya tersebut Paus Gregorius VIII juga menyalahkan kaum Frank atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan di negara-negara tentara salib. Ia juga bersikeras bahwa orang Kristen yang tinggal di Eropa juga turut bertanggung jawab atas yang telah terjadi di Yerusalem.
Di seluruh Eropa, orang-orang sangat tersentuh akan maklumat Paus tersebut. Banyak yang tertarik untuk bergabung mengabdikan diri sebagai bagian dari Tentara Salib karena jaminan penebusan dosa yang ada dalam Bull Audita Tremendi.Dari situlah titik balik Perang Salib III atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja.
Merencanakan Serangan Balasan
Perang Salib tak lepas dari kisah tentang dua tokoh sejarah besar yang telah mendominasi jalannya Perang Salib III, yakni Saladin dan Richard I The Lionheart. Sejak akhir abad ke-12, Perang Salib lebih sering digambarkan sebagai duel pribadi antara dua sosok pemimpin militer beda kubu tersebut.
Bahkan, banyak sekali karya-karya lukisan pada abad pertengahan yang menunjukkan Richard I The Lionheart dan Saladin terkunci dalam pertempuran tunggal satu lawan satu. Adegan ini sebenarnya adalah fiksi. Richard dan Saladin tidak pernah benar-benar bertemu secara langsung satu sama lain. Meski demikian, pasukan mereka terlibat dalam beberapa pertempuran selama Perang Salib III berlangsung, tulis Nicholson Helen dan David Nicole dalam God’s Warriors: Crusaders, Saracens and The Battle For Jerusalem (2005).
Perang Salib III mulanya akan dipimpin oleh Frederick I Barbarossa dari Jerman, Philip II Augustus dari Prancis, dan Richard I The Lionheart dari Inggris yang akan melawan Salahhudin Al-ayubi di pihak lawan. Akan tetapi, hanya Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart yang benar-benar sampai ke Yerusalem karena nasib nahas menimpa Raja Frederick I. Dia tewas tenggelam dalam balutan baju zirahnya di sungai Goksu dekat Kastil Silifke di wilayah Selatan Turki.
Selain motif agama, Paus Gregorios VIII juga memiliki motif politik yang kuat di balik seruan Bull Audita Tremendi yang melatarbelakangi ekspedisi Perang Salib III. Motif tersebut menurut Carole Hillenbrand dalam Perang Salib Sudut Pandang Islam, hlm. 32-34 (2005) adalah agar pertengkaran menahun antara Kerajaan Prancis dan Inggris yang melemahkan kekuatan kerajaan Kristen Eropa, bisa segera mereda jika mereka bersatu dalam satu tujuan bersama.
Hal tersebut dalam pandangan Paus Gregorius VIII akan mengalihkan energi perangdua kerajaan yang berselisih itu, sekaligus dapat mengurangi ancaman langsung bagi masyarakat Eropa akibat perang berkepanjangan yang mereka lakukan. Ide Paus ini hanya berhasil dalam waktu singkat. Kedua raja, yakni Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart pada kenyataannya hanya mampu menyisihkan perbedaan pendapat dalam rentang waktu beberapa bulan selama berlangsungnya ekspedisi tersebut.
Pada tahun-tahun setelah kemenangan besarnya di Hattin dan Yerusalem pada 1187, kekuatan politik dan militer Saladin mulai menurun. Perpecahan dalam dunia Islam mulai muncul kembali, dan upaya Saladin menaklukkan benteng tentara salib yang tersisa masih menuai kegagalan.
Pada musim dingin 1187–1188, Saladin menyerang pelabuhan tentara salib terakhir di Titus, tetapi kota itu berhasil dipertahankan oleh Conrad dari Montferrat, bangsawan Italia yang baru tiba di Yerusalem.
Tak lama kemudian, Saladin membebaskan Raja Guy de Lusignan yang sebelumnya telah mengambil sumpah darinya untuk tidak kembali memeranginya. Hal ini kelak akan menjadi salah satu keputusan paling mahal yang pernah diambil Saladin. Tak lama setelah dibebaskan, Raja Guy de Lusignan bertemu uskup yang mengataan padanya bahwa sumpah yang diambil kepada orang kafir (baca: Muslim) tidak mengikat bagi orang Kristen.
Pada Agustus 1189 Raja Guy berhasil mengumpulkan beberapa ribu pengikutnya yang masih setia untuk melakukan pengepungan terhadap Kota Acre--salah satu pelabuhan terpenting di pantai Mediterania. Raja Guy menempatkan pasukannya di sebuah bukit rendah yang disebut Gunung Toron, hampir satu mil di sebelah timur Acre (The Third Crusade, hlm. 110).
Infografik Mozaik Kekalahan Saladin di Perang Salib III. tirto.id/Lugas
Serangan cepat dari pasukan Saladin yang jumlahnya lebih banyak bisa saja menghabisi kaum Frank, tapi dia terlalu hati-hati dan mengatur posisi bertahan sekitar enam mil jauhnya ke tenggara Acre. Selama satu setengah tahun berikutnya, pengepungan Acre masih menemui jalan buntu. Kaum Frank berkemah di parit antara tentara Saladin dan garnisun Muslimnya di dalam kota.
Pasukan Salib kemudian terus membanjiri Acre, salah satunya pasukan Conrad de Montferrat yang sering disebut sebagai gelombang pertama kedatangan tentara salib dari Eropa pada Perang Salib III. Meski demikian, kaum Frank tidak dapat menghancurkan tembok kuat yang mengelilingi kota tersebut.
Musim dingin tahun 1189 dan 1190 sangat keras, kekuatan kedua belah pihak--Tentara Salib dan pasukan Muslim—dilemahkan oleh penyakit menular dan kekurangan bahan makanan yang semakin terasa. Meski demikian, kota Acre masih berhasil menahan serangan gencar yang dilakukan oleh gabungan tentara Frank milik Guy dan Conrad de Montferrat.
Pada permulaan tahun 1191, Saladin menerima kabar bahwa Raja Inggris dan Prancis beserta pasukannya tengah dalam perjalanan menuju Acre untuk membantu pengepungan. Pasukan Raja Prancis tiba pada 20 April 1191. Raja Philip II Augustus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun strategi pengepungan dan melecehkan para prajurit Muslim yang berada di dalam benteng kota.
Dua bulan kemudian, tepatnya pada 8 Juni 1191, Raja Richard The Lionheart dari Inggris juga tiba dengan 25 kapal untuk membantu Tentara Salib dengan melakukan blokade laut.
Keterampilan taktis dan kemampuan militer Richard The Lionheart membuat perbedaan besar bagi jalannya pengepungan. Hal ini memungkinkannya mengambil alih komando Pasukan Salib. Pada 2 Juli 1191, 200 armada besar kapalnya tiba.
Karena kian terdesak dari darat dan laut, pada 11 Juli 1191 Saladin memutuskan untuk melancarkan serangan penghabisan terhadap lebih dari 50.000 Tentara Salib yang mengepung di luar benteng, namun kegagalan. Akhirnya pada 12 Juli 1191, tepat hari ini 830 tahun silam, Acre jatuh ke tangan Raja Richard I The Lionheart dan Philip II Augustus. Ini adalah kekalahan pertama Saladin dalam pertempuran di Yerusalem sejak dia berkuasa pada Oktober 1187.
Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk mengambil kuasa kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta bantuan dengan cepat berubah menjadi migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa. Baik ksatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan laut menuju Yerusalem dan menangkap kota tersebut pada Juli 1099, mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya. Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal — setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja terakhir — namun Eropa tidak memperlihatkan diri sebagai Kerajaan Allah di dunia. Pertikaian selalu bermunculan di antara pangeran-pangeran Kristen, dan peperangan antara para bangsawan yang haus tanah membuat rakyat menderita. Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya. Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Katolik dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus. Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu." "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim. Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh non-Kristen adalah kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas tanah suci orang Kristen tampaknya seperti tindakan melayani Allah. Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyucian. Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel. Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan". Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda". Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan. Mereka mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih terlihat. Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) dan Ordo Rumah Sakit (bahasa Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri. Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif. 1. Perang Salib Rakyat. Perang Salib Rakyat adalah bagian dari Perang Salib pertama dan berakhir kira-kira enam bulan dari April 1096 sampai Oktober. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Salib Populer. 2.Perang Salib Jerman. Perang Salib Jerman 1096 adalah bagian dari Perang Salib pertama di mana tentara perang salib rakyat, kebanyakan dari Jerman, tidak menyerang Muslim namun orang Yahudi. Meskipun anti-semitisme telah ada di Eropa selama berabad-abad, ini merupakan pogrom massal pertama yang terorganisasi. Dalam beberapa kasus, otoritas dan pemimpin keagamaan berusaha melindungi orang Yahudi. 3. Perang Salib 1101 adalah sebuah perang salib dari 3 gerakan yang terpisah, diatur tahun 1100 dan 1101 setelah kesuksesan Perang Salib Pertama. Perang Salib Pertama yang berhasil menyarankan panggilan bantuan dari Kerajaan Yerusalem yang baru dibentuk, dan Paus Paschal II mendorong adanya ekspedisi baru. Ia terutama mendorong yang telah melakukan janji perang salib namun tidak pernah berangkat, dan yang telah memutar balik selama perjalanan. Beberapa orang ini telah menerima caci maki di rumahnya dan menghadapi tekanan agar kembali ke timur; Adela dari Blois, istri Stephen, Raja Blois, yang telah melarikan diri dari Pertempuran Antiokhia tahun 1098, juga sangat kecewa dengan suaminya bahwa dia tidak akan mempersilahkannya tinggal di rumah. 4. Perang Salib Kedua
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Peta tahun 1140 yang menunjukan jatuhnya Edessa di sebelah kanan peta, yang merupakan sebab terjadinya Perang Salib Kedua. Perang Salib Kedua (berlangsung dari sekitar tahun 1145 hingga tahun 1149) adalah Perang Salib kedua yang dilancarkan dari Eropa, yang dilaksanakan karena jatuhnya Kerajaan Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara-negara Tentara Salib yang didirikan pertama kali selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga yang pertama jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, yaitu Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyebrangi Eropa secara terpisah melewati Eropa dan agak terhalang oleh kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus; setelah melewati teritori Bizantium ke dalam Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dapat ditaklukan oleh orang Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melakukan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur gagal dan merupakan kemenangan besar bagi orang Muslim. Kegagalan ini menyebabkan jatuhnya Kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12. Serangan-serangan yang berhasil hanya terjadi di luar laut Tengah. Bangsa Flem, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman, melakukan perjalanan menuju Tanah Suci dengan kapal. Mereka berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilahkan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan, tempat mereka mendapatkan keturunan. Sementara itu, di Eropa Timur, Perang Salib Utara dimulai dengan usaha untuk merubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beragama Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad.
Setelah terjadinya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, terdapat tiga negara tentara salib yang didirikan di timur: Kerajaan Yerusalem, Kerajaan Antiokhia, dan Kerajaan Edessa. Kerajaan Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah dan memiliki populasi yang kecil; oleh sebab itu, daerah ini sering diserang oleh negara Muslim yang dikuasai oleh Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam pertempuran Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelah pertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin dibunuh dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, dipaksa untuk bersekutu dengan kekaisaran Bizantium, namun, pada tahun 1143, baik kaisar kekaisaran Bizantium, John II Comnenus dan raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Raja Tripoli dan Pangeran Antiokhia, yang menyebabkan Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat. Sementara itu, Zengi, Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi dan raja Baldwin II mengubah perhatian mereka ke arah Damaskus; Baldwin dapat ditaklukan di luar kota pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, nantinya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140; aliansi dinegosiasikan oleh penulis kronik Usamah ibn Munqidh. Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid Kara Aslan melawan Aleppo. Zengi, yang ingin mengambil keuntungan dalam kematian Fulk pada tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ketangannya setelah 1 bulan pada tanggal 24 Desember 1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim ke Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri memuji Islam sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia, seperti yang telah ditakuti; peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengamati Damaskus. Namun, ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan di Aleppo oleh anaknya, Nuruddin. Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.
Berita jatuhnya Edessa diberitakan oleh para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar dari Antiokhia, Yerusalem dan Armenia. Uskup Hugh dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus Eugenius III, yang menerbitkan papal bull Quantum praedecessores pada tanggal 1 Desember 1145, yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Hugh juga memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib: ini merupakan penyebutan Prester John yang pertama kali didokumentasikan. Eugenius tidak menguasai Roma dan tinggal di Viterbo, namun demikian, perang salib diartikan untuk lebih mengatur dan menguasai daripada Perang Salib Pertama: beberapa pendeta akan diterima oleh paus, angkatan bersenjata akan dipimpin oleh raja-raja terkuat dari Eropa, dan rute penyerangan akan direncanakan. Tanggapan terhadap papal bull perang salib sedikit, dan harus dikeluarkan kembali saat Louis VII akan mengambil bagian dalam ekspedisi. Louis VII dari Perancis juga telah memikirkan ekspedisi baru tanpa campur tangan Paus, di mana ia mengumumkan kepada istanannya di Bourges pada tahun 1145. Hal ini diperdebatkan saat Louis merencanakan perang salibnya sendiri, saat ia hendak memenuhi janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah Suci, di mana ia akhirnya dihentikan oleh kematian. Mungkin Louis memilih pilihannya dengan bebas dengan mendengar tentang Quantum Praedecessores. Dalam beberapa hal, Kepala Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan rencana Louis, di mana ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernard dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui kembali ke Eugenius. Kini Louis telah mendengar tentang papal bull, dan Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Papal Bull dikeluarkan kembali pada tanggal 1 Maret 1146, dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernard untuk berceramah di Perancis.
Tidak terdapat antusias populer untuk perang salib sebagaimana telah ada tahun 1095 sampai tahun 1096. Namun, St. Bernard, salah satu orang terkenal diantara umat nasrani pada saat itu, menemukan jalan bijaksana untuk mengambil salib sebagai arti mendapat pengampunan dari dosa dan mencapai keagungan. Pada 31 Maret, dengan persembahan Louis, dia menasehati keramaian di lapangan di Vézelay. Bernard berorasi, dan orang-orang naik dan berteriak "Salib, berikan kami salib!", dan mereka pergi untuk membuat salib. Tidak seperti perang salib pertama, perang salib kedua menarik perhatian keluarga rajam seperti Eleanor dari Aquitaine, Ratu Perancis, Thierry dari Elsas, Graf Flander, Henry, yang nantinya akan menjadi graf Champagne, saudara Louis Robert I dari Dreux, Alphonse I dari Tolosa, William II dari Nevers, William de Warenne, pangeran ketiga Surrey, Hugh VII dari Lusignan, dan bangsawan dan uskup lainnya. Tapi bantuan lebih banyak muncul dari orang-orang. St. Bernard menulis kepada uskup beberapa hari kemudian: "Saya buka mulut saya, saya berbicara, dan dan akhirnya Tentara Salib berjumlah menjadi tak terbatas. Desa dan Kota sekarang ditinggalkan. Anda akan baru saja menemukan 1 laki-laki untuk 7 wanita. Dimana-mana anda akan melihat janda yang suaminya masih hidup". Akhirnya disetujui bahwa tentara salib akan berangkat dalam 1 tahun, selama waktu ini mereka akan membuat persiapan dan membuat jalur menuju tanah suci. Louis dan Eugenius menerima bantuan dari pemimpin-pemimpin dimana daerah mereka akan dilewati: Geza dari Hongaria, Roger II dari Sisilia, dan kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus, meskipun Manuel ingin tentara salib untuk bersumpah kesetiaannya kepadanya, seperti yang diminta Kakeknya, Alexius I Comnenus. Sementara itu, St. Bernard melanjutkan untuk berkhotbah di Burgundi, Lorraine, dan Flanders. Seperti pada Perang Salib Pertama, khotbah membuat serangan kepada orang Yahudi; seorang pendeta fanatik Jerman bernama Rudolf adalah orang yang membuat terjadinya pembantaian orang Yahudi di Cologne, Mainz, Worms, dan Speyer, dengan Rudolf mengklaim orang Yahudi tidak berkontribusi secara finansial untuk menolong tanah suci. St. Bernard dan uskup besar dari Cologne dan Mainz dengan hebat menentang penyerangan itu, dan juga St. Bernard mengunjungi dari Flanders ke Jerman untuk mengatasi masalah itu, dan juga St. Bernard meyakinkan para pendengar Rudolf untuk mengikutinya. Bernard lalu menemukan Rudolf di Mainz dan berhasil mendiamkannya, dan mengembalikannya ke biara. Saat masih di Jerman, St. Bernard juga berkhotbah kepada Conrad III dari Jerman pada bulan November tahun 1146, tapi Conrad tidak tertarik untuk berpartisipasi, Bernard melanjutkan perjalanannya untuk berkhotbah di Jerman Selatan dan Swiss. Namun, dalam perjalanannya pulang pada bukan Desember, dia berhenti di Speyer, dimana, dalam kehadiran Conrad, dia mengantarkan khotbah emosional dimana dia mengambil peran Yesus dan bertanya apa yang akan dia lakukan untuk kaisar. Lalu Bernard berteriak "Orang!", "apa yang sebaikinya aku lakukan untukmu yang tidak pernah kulakukan?" Conrad tidak bisa melawan lagi dan bergabung dengan perang salib dengan banyak bangsawannya, termasuk Frederick II. Seperti di Kota Vézelay, banyak orang juga ikut perang salib di Jerman. Paus juga memimpin perang salib di Spanyol, meskipun perang melawan orang Moor masih terjadi untuk beberapa waktu. Dia memberikan Alfonso VII dari Kastilia indulgensi yang sama ia berikan kepada tentara salib Perancis, dan seperti yang dilakukan Paus Urban II tahun 1095, membuat orang Spanyol untuk bertarung untuk teritorinya sendiri daripada bergabung dengan tentara salib. Dia memimpin Marseille, Pisa, Genoa, dan kota lainnya untuk bertarung di Spanyol, tapi bagaimanapun memaksa orang Italia, seperti Amadeus III dari Savoy untuk pergi ke timur. Eugenius tidak mau Conrad berpartisipasi, dan berharap bahwa dia akan memberikan bantuan kerajaan untuk klaimnya terhadap kepausan, tapi dia tidak melarangnya untuk pergi. Eugenius III juga memimpin sebuah tentara salib di Jerman untuk melawan Wend, yang adalah penganut pagan. Perang telah terjadi untuk beberapa waktu antara orang Jerman dan orang Wend, dan mengambil bujukan Bernard untuk mempersilahkan indulgensi diumumkan untuk Tentara Salib Wend. Ekspedisi ini tidak seperti tentara salib tradisional, ini adalah ekspansi melawan pagan daripada melawan orang Muslim, dan tidak dihubungkan dengan pertahanan tanah suci. Perang Salib Kedua melihat melihat perkembangan menarik dalam arena baru perjalanan perang salib.
Pada tanggal 16 Februari 1147, tentara salib Perancis mendiskusikan tentang rute penyerangan mereka nantinya. Mereka mendiskusikan hal itu di Kota Étampes. Orang Jerman telah memilih untuk berpetualang melewati Hongaria, dimana Roger II musuh dari Conrad dan jalur laut tidak dapat dijalankan. Banyak bagnsawan Perancis tidak percaya jalur darat, dimana akan membawa mereka ke kekaisaran Bizantium, reputasi masih menderita dari First Crusaders. Meskipun dipilih untuk mengikuti Conrad, dan untuk memulainya pada tanggal 15 Juni. Roger II melawan dan menolak untuk berpartisipasi. Di Perancis, Kepala Biara Suger dan Raja William dari Nevers dipilih sebagai pengawas selama Raja sedang pergi berpartisipasi dalam perang salib. Di Jerman, khotbah lebih jauh dilakukan oleh Adam dari Ebrach, dan Otto dari Freising juga mengambil salib. Pada 13 Maret di Frankfurt, anak Conrad, Frederick IV dipilih sebagai raja, dibawah pengawasan Henry, Keuskupan Agung Mainz. Jerman berencana untuk maju pada bulan Mei dan bertemu orang Perancis di Konstantinopel. Selama pertemuan itu, pangeran Jerman yang lain memperluas ide perang salib kepada etnis Slavia yang tinggal di timur laut dari Kekaisaran Romawi Suci, dan dipimpin oleh Bernard untuk mengirim perang salib terhadap mereka. Pada 13 April, Eugenius mengkonfirmasi perang salib ini, membandingkan perang salib di Spanyol dan Palesitan. Dan pada tahun 1147, Perang Salib Wend juga muncul. Pada pertengahan bulan Mei, rombongan pertama mens/thumb/5/55/AfonsoI-P.jpg/180px-AfonsoI-Pninggalkan Inggris, terdiri dari orang Flem, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman. Tidak ada pangeran atau raja memimpin bagian perang salib ini; Inggris pada saat itu di tengah-tengah anarkisme. Mereka tiba di Porto pada bulan Juni, dan diyakinkan oleh uskup untuk melanjutkan perjalanan menuju Lisboa, dimana Raja Alfonso telah pergi saat mendengar armada tentara salib menuju kesitu. Pengepungan Lisboa dimulai pada 1 Juli dan berakhir pada 24 Oktober saat kota itu jatuh ketangan tentara salib. Beberapa tentara salib bertahan di kota baru yang baru direbut, dan Gilbert dari Hastings dipilih sebagai uskup, tapi banyak armada melanjutkan ke timur pada Februari 1148. Hampir pada waktu yang sama, orang Spanyol dibawah Alfonso VII dari Kastilia dan Ramon Berenguer IV dan lainnya merebut Almería. Pada tahun 1148 dan 1149, mereka juga merebut Tortosa, Fraga, dan Lerida.
Tentara Salib Jerman, tediri dari Franconia, Bavaria, dan Swabia meninggalkan tanah mereka, juga pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hongaria akhirnya membiarkan mereka lewat tanpa dilukai. Saat pasukan tiba di tertori Kekaisaran Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Bizantium bertugas agar tidak ada masalah apapun. Ada pengepungan kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, dimana Jendral Bizantium Prosouch bertarung dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Hal yang membuat semakin buruk adalah beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel, dimana relasi dengan Manuel kecil dan orang Jerman dipersilahkan untuk menyebrang menuju Asia Kecil secepat mungkin. Manuel mau Conrad meninggalkan beberapa pasukannya dibelakang, untuk membantunya bertahan melawan serangan dari Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tapi Conrad menolak, walaupun adalah musuh dari Roger. Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu orang Perancis, dan maju menyerang Iconium, ibukota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi, 1 dihancurkan oleh Seljuk pada tanggal 25 Oktober 1147 pada Pertempuran Kedua Dorylaeum. Orang Turki Seljuk menggunakan taktiknya dalam berpura-pura mundur, lalu membalas menyerang pasukan kecil kavalri Jerman yang telah terpisah dari pasukan utama untuk mengejar mereka. Conrad mulau mundur ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertarung dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan ditaklukan pada awal tahun 1148.
Tentara Salib Perancis berangkat dari Metz pada bulan Juni, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya, William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine, Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hongaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilahkan orang Hongaria untuk bergabung dengan pasukannya. Relasi dengan Bizantium juga kecil, dan Lorrainer, yang telah maju, juga datang dengan konflik dengan orang Jerman yang perjalanannya lebih lambat. Sejak negosiasi awal diantara Louis dan Manuel, Manuel telah melaksanakan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm, menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Ini telah dilakukan sehingga Manuel bebas mengkonsentrasikan pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang telah mendapat reputasi untuk pencurian dan penghianatan sejak Perang Salib Pertama dan dituduh melakukan hal jahat di Konstantinopel. Relasi Manuel dengan pasukan Perancis lebih baik daripada dengan orang Jerman, dan Luis terhibur di Konstantinopel. Beberapa orang Perancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tapi mereka dikendalikan oleh papal legate. Saat pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel, melewati Italia dan menyebrang dari Brindisi menuju Durres, seluruh pasukan perahu mereka menyebrangi Bosporus menuju Asia Kecil. Dalam tradisi yang dibuat oleh Kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Perancis untuk mengembalikan teritori manapun yang direbutnya kepada Bizantium. Mereka disemangati oleh rumor bahwa orang Jerman telah merebut Iconium, tapi Manuel menolak memberi Louis satupun pasukan Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan semua pasukan Manuel diperlukan di Balkan. Baik Jerman dan Perancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti Perang Salib Pertama. Orang Perancis bertemu sisa dari pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising sepanjang pantai Mediterania, dan mereka tiba di Efesus pada bulan Desember, dimana mereka mempelajari kalau Turki Seljuk menyiapkan penyerangan untuk menyerang mereka. Manuel juga mengirim duta besar yang mengkomplain tentang menjarah dan merampas yang Louis lakukan disepanjang jalan, dan tidak ada tanggung jawab kalau Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel, dimana Manuel memeriksanya, dan Louis, tidak mendengarkan peringatan serangan Seljuk, maju keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tapi dalam pertarungan kecil diluar Efesus, orang Perancis menang, Mereka mencapai Laodicea pada bulan Januari tahun 1148, hanya beberapa hari setelah pasukan Otto dari Freising dihancurkan di daerah yang sama. Melanjutkan serangan, barisan depan dibawah Amadeus dari Savoy terpisah dari sisa pasukan, dan pasukan Louis diikuti oleh orang Turki, yang tidak menyadarinya. Orang Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih jauh dan orang Perancis maju ke Adalia, yang telah dihancurkan dari jauh oleh Seljuk, yang juga telah membakar tanah untuk menghindari orang Perancis dari melengkapi makanannya, baik untuk diri mereka maupun untuk orang Perancis. Louis ingin untuk melanjutkan dengan tanah demi tanah, dan telah dipilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlabuh ke Antiokhia. Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, dimana sisa pasukan harus melanjutkan serangan jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hampir dihancurkan seluruhnya, baik karena orang Turki maupun karena sakit.
Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat karena badai; Amadeus dari Savoy tewas di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman dari Eleanor, Raymond. Raymond mengharapkannya membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tapi Louis menolak, dia lebih memilih untuk memasuki Yerusalem daripada fokus dalam aspek militer. Eleanor menikmatinya, tapi pamannya mau dia tetap disitu dan menceraikan Louis jika dia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia dan pergi ke Kerajaan Tripoli. Setelah itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal April, setelah itu Conrad segera sampai, dan Fulk, Patriarch dari Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba pada saat ini, dan juga orang Provencals dibawah Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri telah tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem, diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli.
Di Yerusalem, fokus perang salib berubah di Damaskus, target yang diincar oleh Raja Baldwin III dan Ksatria Templar. Conrad didesak untuk mengambil bagian dalam ekspedisi ini. Saat Louis tiba, Haute Cour bertemu di Akko pada tanggal 24 Juni. Ini adalah pertemuan paling spektakular dari Cour dalam keberadaannya: Conrad, Otto, Henry II dari Austria, Frederick I, dan William V dari Montferrat mewakili Kekaisaran Romawi Suci; Louis, Bertrand anak dari Alphonse, Thierry dari Elsas, dan raja lainnya mewakili Perancis; dan dari Yerusalem, Raja Baldwin, Ratu Melisende, Patriarch Fulk, Robert dari Craon, Raymond du Puy de Provence, Manasses dari Hierges, Humphrey II dari Toron, Philip dari Milly, dan Barisan dari Ibelin. Catatan, tidak ada yang datang dari Antiokhia, Tripoli, ataupun dari Edessa datang. Beberapa orang Perancis menyadari kalau kewajiban mereka terpenuhi, dan mau pulang; beberapa bangsawan Yerusalem menunjuk bahwa tidak bijaksana untuk menyerang Damaskus, sekutu mereka melawan Dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin berisikeras, dan pada bulan Juli, pasukan itu bersiap di Tiberias.
Tentara Salib memilih untuk menyerang Damaskus dari timur, dimana kebun akan memberi mereka makanan konstan. Mereka tiba pada tanggal 23 Juli, dengan pasukan Yerusalem di garis depan, diikuti dengan Louis dan lalu Conrad sebagai penjaga belakang. Orang Muslim berisap untuk serangan dan langsung menyerang pasukan yang maju menuju perkebunan. Pasukan Salib mampu melawan mereka dan mengejar mereka kembali ke Sungai Barada dan menuju Damaskus; setelah tiba diluar tembok kota, mereka langsung menyerang Damaskus. Damaskus telah meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo dan Nuruddin dari Mosul, dan vizier, Mu'inuddin Unur, memimpin serangan yang tidak berhasil pada kemah pasukan salib. Ada konflik pada kedua kemah: Unur tidak mempercayai Saifuddin atau Nuruddin dari menguasai seluruh kota jika mereka menawarkan bantuan; dan pasukan salib tidak setuju siapa yang akan mendapatkan kota jika mereka merebutnya. Pada 27 Juli, pasukan salib memilih untuk bergerak ke bagian timur kota, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi memiliki sedikit persediaan makanan dari air. Nuruddin telah tiba dan tidak mungkin untuk kembali ke posisi mereka yang terbaik. Pertama Conrad, lalu sisa dari pasukan, memilih untuk mundur ke Yerusalem.
Semua sisi merasa dikhianati oleh yang lain. Rencana lain baru dibuat untuk menyerang Ascalon, dan Conrad membawa pasukannya kesana, tapi tidak ada bantuan tiba, karena tidak ada kepercayaan karena kegagalan serangan Damaskus. Ekspedisi Ascalon ditinggalkan, dan Conrad kembali ke Konstantinopel, dimana Louis tetap berada di Yerusalem sampai tahun 1149. Kembali ke Eropa, Bernard dari Clairvaux juga dipermalukan, dan ketika dia hendak memanggil perang salib yang gagal, dia mencoba memisahkan dirinya dari fiasco perang salib kedua. Dia meninggal pada tahun 1153. Serangan Damaskus membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya kepada Kerajaan Tentara Salib, dan Kota itu diambil oleh Nuruddin pada tahun 1154. Baldwin III akhirnya mengepung Ascalon pada tahun 1153, dimana membawa Mesir kedalam konflik ini. Yerusalem mampu membuat kemajuan memasuki Mesir, dengan singkat merebut Kairo pada tahun 1160. Namun, relasi dengan Kekaisaran Bizantium dicampur, dan bantuan dari barat jarang setelah bencana dari perang salib kedua. Raja Amalric I dari Yerusalem bersekutu dengan Bizantium dan berpartisipasi dalam invasi Mesir tahun 1169, tapi ekspedisi ini gagal. Pada tahun 1171, Saladin, keponakan dari salah satu jendarl Nuruddin, menjadi Sultan Mesir, mempersatukan Mesir dan Siria dan mengepung kerajaan tentara Salib. Setelah itu, aliansi dengan Bizantium berakhir dengan kematian kaisar Manuel I pada tahun 1180, dan pada tahun 1187, Yerusalem diserang dan direbut oleh Saladin. Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibukota dari semua daerah yang direbut tentara salib, menyulut terjadinya Perang Salib Ketiga. Referensi: Pustaka utama * Anonymous. De expugniatione Lyxbonensi. The Conquest of Lisbon. Edited and translated by Charles Wendell David. Columbia University Press, 1936. * Odo dari Deuil. De profectione Ludovici VII in orientem. Edited and translated by Virginia Gingerick Berry. Columbia University Press, 1948. * Otto dari Freising. Gesta Friderici I Imperatoris. The Deeds of Frederick Barbarossa. Edited and translated by Charles Christopher Mierow. Columbia University Press, 1953. * The Damascus Chronicle of the Crusaders, extracted and translated from the Chronicle of Ibn al-Qalanisi. Edited and translated by H. A. R. Gibb. London, 1932. * William dari Tirus. A History of Deeds Done Beyond the Sea. Edited and translated by E. A. Babcock and A. C. Krey. Columbia University Press, 1943. * O City of Byzantium, Annals of Niketas Choniatēs, trans. Harry J. Magoulias. Wayne State University Press, 1984. * John Cinnamus, Deeds of John and Manuel Comnenus, trans. Charles M. Brand. Columbia University Press, 1976. Pustaka kedua * Michael Gervers, ed. The Second Crusade and the Cistercians. St. Martin's Press, 1992. * Jonathan Phillips and Martin Hoch, eds. The Second Crusade: Scope and Consequences. Manchester University Press, 2001. * Steven Runciman, A History of the Crusades, vol. II: The Kingdom of Jerusalem and the Frankish East, 1100-1187. Cambridge University Press, 1952. * Kenneth Setton, ed. A History of the Crusades, vol. I. University of Pennsylvania Press, 1958 (available online) Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:
TOKOH-TOKOH PERANG SALIB
Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan kaum Muslim, awalnya diluncurkan sebagai jawaban atas permintaan dari Kekaisaran Bizantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Inilah tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Perang Salib.
Salahuddin Ayyubi adalah seorang jenderal dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan Tentara Salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud, ia adalah orang yang berhasil menaklukan Yerussalem.
Richard I (6 September 1157 – 6 April 1199) adalah raja Inggris antara tahun 1189 sampai 1199. Ia sering juga dijuluki Richard si Hati Singa (Inggris: Lion heart, Perancis: Cœur de Lion) karena keberaniannya. Ia adalah anak ketiga dari Henry II dari Inggris, dan merebut tahta Inggris dari ayahnya dengan bekerja sama dengan Phillip II dari Perancis pada tahun 1189. Richard I terkenal sebagai salah satu tokoh dalam Perang Salib, di mana salah satu keberhasilannya dalam perang tersebut adalah merebut Siprus untuk mendukung pasukan Perang Salib. setelah sampai di Acre Richard kemudian merebut Kota Acre pada tahun 1191 dan kemudian Richard mulai mengarahkan pasukannya untuk menyerbu Yerusalem. Pasukan Richard berjalan melalui garis pantai antara kota Acre dan Jaffa, ketika perjalanan menuju Kota Jaffa pasukan Richard dihadang pasukan Saladin dan terjadilah pertempuran di dekat kota Arsuf yang dimenangkan Richard dan memaksa Saladin mundur ke Yerusalem untuk bertahan. Richard akhirnya memasuki kota jaffa tanpa perlawanan karena kota sudah dibakar oleh Saladin.
Friedrich I Barbarossa[1] (1122 – 10 Juni 1190) adalah seorang Raja Jerman yang dipilih di Frankfurt pada tanggal 4 Maret 1152 dan dimahkotai di Aachen pada tanggal 9 Maret, dimahkotai sebagai Raja Italia di Pavia tahun 1154, dan dimahkotai sebagai Kaisar Kekaisaran Romawi Suci oleh Paus Adrianus IV tanggal 18 Juni 1155. Ia dimahkotai sebagai Raja Burgundi di Arles pada tanggal 30 Juni 1178.
Dracula yang selama ini digambarkan sebagai tokoh fiktif sebagai makhluk penghisap darah ternyata memang ada pada zaman Perang Salib, tetapi bukan sebagai kelelawar atau semacamnya yang digambarkan oleh Bram Stoker dalam bukunya, dia adalah makhluk kejam penyula rakyatnya. Pada waktu itu dia membantai lebih dari 10 ribu orang muslim, oleh karena itu dia diburu oleh Sultan Mehmed II. Akhirnya dia dipenggal di Danau Snagov. Jasadnya dikuburkan disana tetapi kepalanya di bawa ke Turki, setelah diteliti ternyata jenazahnya tidak ada.
Sultan Mehmed II nama aslinya adalah Muhammad Al-Fatih, dia menjadi Sultan Turki dan berhasil menaklukan Konstantinopel lewat aksinya yang sangat terkenal yang dikenal sebagai "Kapal yang Berlayar di Daratan" pada waktu itu dia memerintahkan prajurit untuk memindahkan kapalnya melewati gurun. Dia pula orang yang bermasalah dengan Dracula.
Baldwin IV (1161-16 Maret 1185), dengan julukan Kusta atau Lepra, anak Amalric I dari Yerusalem. Istri pertamanya, Agnes dari Courtenay, menjadi raja Yerusalem 1174-1185. Baldwin lahir di Yerussalem, separuh hidupnya dia jalani menghadapi penyakit lepra, dan pada tahun 1185 akhirnya dia meninggal karena penyakit yang di deritanya itu. Sumber: http://azimuth29.blogspot.com
Perang Salib III terjadi pada 1189-1192. Perang ini terkenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja karena diikuti oleh raja-raja Eropa. Ilustrasi: Ist
terjadi pada 1189-1192. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang Salib Para Raja” karena diikuti oleh raja-raja
seperti Raja Richard I dari
, Raja Phillip II dari
, dan Raja Frederick I dari Kekaisaran Suci
Di sisi lain, dari pihak Islam dipimpin oleh
yang berhasil menyatukan
di bawah bendera Dinasti Ayyubiah.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "
" mengungkap Dinasti Ayyubiah berdiri pada tahun 1171 memanfaatkan kelemahan politik Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah Khalifah al-Adhid wafat, Shalahuddin al-Ayyubi ketika itu menjadi wazir atau menteri utama pada akhir Kekhalifahan Fatimiyah, memanfaatkan kekacauan politik dengan membubarkan Islam
pada pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah dan menggantinya dengan Islam
Pemerintahan baru bentukan dari Shalahuddin tersebut mengakui Khalifah
sebagai pemimpin Islam. Dengan pengambilan langkah politik tersebut Kekhalifahan Fatimiyah secara resmi telah dibubarkan karena Kekhalifahan Fatimiyah selalu berseberangan dalam pandangan politik dengan Abbasiyah.
Perang Salib III berlangsung selama tiga tahun dengan hasil sama-sama kuat. Maksudnya sebagian tempat dikuasai oleh Islam dan yang lainnya dikuasai oleh pasukan Salib.
Latar belakang terjadinya Perang Salib III adalah jatuhnya Yerusalem pada tahun 1187 karena kalah melawan pasukan Shalahuddin.
Shalahuddin Al Ayyubi dalam mata dunia Barat terkenal dengan nama Saladin. Saladin berasal dari Etnis Kurdi. Karir militernya berkembang pesat ketika mengabdikan diri di dalam pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah yang dilanda krisis politik pada masa pemerintahan Khalifah al-Adhid.
Pada tahun 1169, Shalahuddin diangkat menjadi perdana menteri. Pasca wafatnya Khalifah al-Adhid, Pemerintahan Fatimiyah yang didominasi oleh militer mengambil alih kekuasaan dan menobatkan Shalahuddin yang sebelumnya menjadi perdana menteri sebagai sultan.
Syiah yang menjadi simbol religiositas Kekhalifahan Fathimiah diganti menjadi Suni. Berakhirlah kebesaran dan kejayaan Kekhalifahan Fatimiyah yang mendominasi perpolitikan di dunia Islam dari abad ke-10 hingga pertengahan abad ke-12.
Shalahuddin tidak hanya menjadi sultan di Mesir, namun juga di Syam. Pemerintahannya diberi nama Dinasti Ayyubiah yang diambil dari nama ayahnya.
Keadaan politik di Timur Tengah yang bergejolak karena Yerusalem dikuasai kembali oleh Kristen sejak 1099 membuat Shalahuddin termotivasi untuk merebut Yerusalem.
M.B. Goldstein dalam bukunya berjudul "
(Bloomington: Archway Publishing, 2013) menyebut pengangkatan dirinya menjadi Sultan Dinasti Ayyubiah pada tahun 1174 dimanfaatkan betul oleh Shalahuddin untuk menaklukkan Yerusalem.
Jonathan Phillips dalam bukunya berjudul "
" (New York: Routledge 2014) menambahkan Shalahuddin mempersiapkan secara matang-matang dalam merebut
. "Kerajaan Yerusalem pada tahun 1186 menobatkan Guy Lusignan sebagai Raja Kerajaan Yerusalem," jelas Phillips.
Pelantikan Guy menjadi raja sangat dipermasalahkan sehingga membuat stabilitas politik di Kerajaan Yerusalem menjadi tidak stabil dan rawan gerakan bawah tanah untuk menurunkan Guy dari takhtanya.
Pada tahun 1187, salah satu kesatria pasukan Salib, Reynald, menyerang rombongan orang-orang Islam ketika Kerajaan Yerusalem masih terikat perjanjian damai dengan Shalahuddin.
Penyerangan tersebut diperparah dengan fakta bahwa rombongan tersebut terdapat saudara perempuan Shalahuddin yang diperkosa pada waktu penyerangan.
Peristiwa tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Shalahuddin untuk berperang melawan Kerajaan Yerusalem. Tanpa adanya deklarasi dari paus dan bantuan pasukan Salib di Eropa, Shalahuddin akan dapat dengan mudah merebut kembali Yerusalem.